Pada
Jum’at 20/10/2017 telah dicapai kesepakatan antara Kapolri Jendral Tito
Karnavian, Kementrian Desa Eko Sandjojo, Kementrian Dalam Negeri Tjahjo Kumulo,
berlangsung di gedung Rupatama Mabes Polri, Jalan Kebayoran Baru Jakarta
Selatan.
Dalam
Nota kesepahaman itu, disebutkan Kapolsek dan bahbinkamtibmas diberikan tugas
tunggal untuk pengawasan dana.
Demikian
berita yang seakan memberikan angin sejuk pada para pelaku di desa, khususnya
mereka yang terlibat dalam penggunaan dana desa.
Namun,
benarkah demikian? Apa bukan sebaliknya. Justru keterlibatan Kapolsek dan
Bahbinkamtibmas menjadi kontra produktif bagi penggunaan dana desa itu sendiri.
Untuk menganalisa masalah itulah, tulisan ini dimaksudkan.
Untuk Jadi Pendekar, Belajarlah Silat.
Ada
pepatah di tanah Melayu, mengatakan untuk menjadi pendekar belajarlah silat. artinya,
kemampuan diri sendiri, sangat dibutuhkan untuk menunaikan kewajiban yang
diemban. Ketika ada tantangan dan gangguan, maka kemampuan diri sendiri menjadi
tolak ukur, apakah kita mampu mengatasinya. Jangan, belum apa-apa kita sudah
minta bantuan pada sanak saudara. Baru mendapat lawan lebih besar, sudah minta
bantuan pada saudara lebih tua untuk mengeroyok sang pengganggu. Lalu, kapan
mau besar? Kapan mau jadi pendekar?
Kondisi
yang digambarkan diatas itulah yang kini terjadi di kemendesa, khususnya yang
berhubungan dengan penanganan dana desa.
Kemendesa
belum berbuat banyak, terutama dalam regulasi dan aturan yang mereka buat,
tiba-tiba ketika ada kebocoran dana desa atau dibeberapa daerah baru sampai
pada tahap prediksi, kemendesa sudah meminta bantuan pada saudara tuanya,
Kemendagri dan Kepolisian.
Kondisi
yang saya cengeng itu, makin diperlihatkan oleh kemendesa ketika masalah dana
desa ini, masuk dalam pembahasan terbatas di Istana Presiden Bogor, dengan
hasilnya sbb:
Rapat
Terbatas optimali Dana Desa, Istana Presiden Bogor , Rabu (18/10)
1. Harus
dipastikan 20 % dari Dana Desa benar-benar dipakai kegunaannya untuk rakyat dan dilakukan dengan swa kelola
2. Tidak
boleh menggunakan kontraktor, harus dikerjakan oleh masyarakat.
3. Untuk
mengawasi dana Desa telah dibentuk
satgas baru, bekerja sama dengan Kementrian Dalam Negri, Kepolisian, Kejaksaan,
yang akan melakukan Random audit Dana Desa.
4. Model
Produk Unggulan Kawasan Perdesaan
(Prukades), juga melibatkan Kementrian terkait, dunia usaha, Perbankan,
dan Bupati untuk duduk bersama-sama melakukan produk Unggulannya.
5. Jika
ada penyelewengan, lapor satgas dana desa ke 1500040. Dalam waktu 3 x 24 jam
akan dikirim pengawas.
Apa yang seharusnya dilakukan.
Lalu,
jika tidak boleh melibatkan kepolisian sebagai agen tunggal dalam penanganan
dana desa, apa yang harus dilakukan oleh Kemendesa?
Prinsipnya,
kebocoran dana desa, secara garis besarnya, disebabkan oleh kebijakan yang
tidak tepat dalam pembuatannya dan aplikasinya serta perbuatan menyimpang yang
dilakukan oleh mereka yang terlibat dalam penggunaan dana desa.
Nah,
pada sebab pertama itulah domain kemendesa berperan besar terjadinya
penyalah-gunaan dana desa. Antara lain, sebab-sebab itu;
Satu. Target Schedule yang ngawur.
Masih
ingat tentang schedule terbentuknya BUMDES dan EMBUNG? Mentri Eko dalam banyak
kunjungannya selalu menyatakan bahwa
pada tahun 2016 seluruh desa di Indonesia telah memiliki Bumdes dan Embung.
Sebuah pernyataan yang sangat ngawur. Mengapa ngawur? Karena untuk membentuk
Bumdes banyak syarat-syarat yang mesti dipenuhi, ada filosofi tentang Bumdes
yang harus di sosialisasikan, ada masa peralihan cara berpikir masyarakat yang
murni agraris atau nelayan menjadi masyarakat yang memiliki jiwa enterpreuner,
ada kemampuan membaca pada aparatur desa mana lahan yang dapat dijadikan bidang
garapan Bumdes dan bidang garapan yang dapat dikerjakan oleh masyarakat, dan
pada akhirnya seluruh syarat-syarat tadi harus di sosialisasikan pada
masyarakat desa, khususnya pada aparatur desa.
Tetapi,
bagaimana akan di sosialisasikan, jika mereka-mereka yang menjadi TA (Tenaga
Ahli) dalam hal Bumdes tidak memiliki kemampuan dan kapabilitas tentang seluruh
syarat-syarat yang ditentukan diatas. Maka, akhirnya, ketika dilakukan
sosialisasi, isinya hanya berkutat pada administrasi, pada soal bagaimana cara
membuat laporan keuangan, bagaimana cara mengisi format dan hal-hal yang sangat
bersifat tekhnis. Maka, jangan aneh jika Bumdes yang terbentuk tidak sesuai
dengan yang diidealkan, melainkan hanya untuk memenuhi syarat waktu yang
ditentukan, sehingga ketika Bumdes beroperasi hanya menunggu saat kematiannya
plus kerugian yang mengiringinya.
Hal
yang sama terjadi pada Embung. Tidak tuntasnya pengertian tentang Embung,
bagaimana memanage embung hingga menjadi lahan yang tidak hanya menampung air,
melainkan juga produktif menghasilkan nominal uang selain fungsinya sebagai penampung
air di waktu hujan dan sumber air pertanian ketika kemarau.
Dua, Perencanaan yang Premature.
Dalam
sebuah perencanaan yang benar, hendaknya dilakukan kajian-kajian secara
komprehensif, apa saja perangkat yang dibutuhkan agar perencanaan layak dikerjakan
dengan kualitas yang diinginkan serta waktu yang ditentukan. Dalam banyak hal
perencanaan yang dilakukan kemendes bersifat premature. Dalam hal konsep baik.
Namun, karena tidak dibarengi dengan perangkat penunjang untuk tercapai
perencanaan. Maka, dalam banyak hal gagal dalam pelaksanaan. Sebagai contoh,
dalam pembentukan Bumdes, tenaga sosialisasi yang paham tentang Bumdes sangat
minim, dalam hal Embung, tenaga sosialisasi yang mengerti tentang Embung sangat
minim, tenaga tekhnis yang mengerti tentang syarat tekhnis embung serta
hubungannya dengan ekonomi dan ekologi, hampir dapat dikatakan tidak ada. Dalam
pengerjaan Infrastrukture desa tenaga Pendamping Desa Tekhnik Infrastrukture
(PDTI) sangat minim. Bahkan, di salah satu Provinsi di Pulau Jawa dengan jumlah
Kecamatan 110 kecamatan, tenaga PDTI hanya 15 orang. Dengan kondisi demikian,
jika terjadi penyalah gunaan dana desa, siapa yang patut pertama disalahkan?
Tentunya pihak Kemendesa.
Tiga, Tidak adanya integritasi dalam
laporan antara Kemendesa dan Kemendagri.
Dalam
pembuatan laporan, pihak aparatur desa yang tadinya sangat awan tentang
laporan, kini dipaksa untuk membuat laporan. Mereka dididik dalam waktu singkat
untuk mampu melakukan itu. Jika saja mampu, sungguh prestasi luar biasa.
Kondisinya semakin berat, ketika untuk pelaporan kegiatan yang sama, bentuk
format yang dimiliki Kemendesa berbeda dengan format yang dimiliki Kemendagri.
Sebuah dilemma yang dialami oleh para aparatur desa.
Masalahnya,
semakin krusial, ketika ada pemeriksaan oleh Inspektorat. Pihak inspektorat tak
dapat menentukan versi mana yang benar. Akibatnya, untuk kegiatan yang sama,
laporan yang dikerjakan dibuat dalam dua versi. Maka, terbuka peluang seakan
terjadi penyelewengan dana. Padahal, kejadian sesungguhnya, berada pada
kesalahan pembuatan laporan kegiatan.
Empat, keterlibatan Polisi hanya
membebani dana Desa.
Masih
kurang cukupkah pemborosan-pemborosan yang dilakukan Kemendesa dalam setiap
pelatihan yang dilakukannya? Dari mulai pemborosan dalam pelatihan pra jabatan
Pendamping Lokal Desa, Pendamping Desa Pemberdayaan, Pendamping Desa Tekhnik Infra
struktur, Tenaga Akhli dan Team Leader. Tentang modus pemborosan ini, saya
tulis secara detail ditulisan yang lain. Kini, untuk melibatkan pihak
kepolisian, tentunya diperlukan latihan-latihan yang serupa, yang akibatnya,
semakin membebani dana Desa. Belum lagi, jika diingat, prestasi Polisi dalam
mengungkapkan tindakan korupsi dalam skala besar, tidak begitu membesarkan
hati.
Akhirnya,
sebuah filosofi pemikiran yang umum berlaku di dalam dunia konstruksi, untuk
sukses sebuah pekerjaan konstruksi, bukan bergantung pada berapa banyaknya tenaga mandor, melainkan
berapa banyak tenaga kerja yang terlibat dan berkontribusi dalam pekerjaan itu,
serta bagaimana kejelasan tentang pekerjaan yang dilakukan, seperti aturan
mainnya, kapan diselesaikan serta bagaimana system pelaporan. Sedangkan untuk
tenaga mandor atau pengawas cukup satu orang.