![]() |
Dari Jauh Terlihat Desa Dampingan (dok.Pribadi)
|
Adzan Magrib selesai dikumandangkan, buka terakhir
selesai sudah tertunaikan, di langit di atas sana gelap belum sepenuhnya
sempurna. Tak ada lagi taraweh malam ini,
yang ada sehabis magrib tadi, gema takbir berkumandang memenuhi angkasa raya.
Tanda berakhir sudah bulan puasa dan esok, adalah hari
kemenangan bagi yang umat Islam, setelah berpuasa selama sebulan penuh. Diujung
gang tempat Surya dan Eneng terdengar suara letusan kembang api menyertai
kegembiraan berakhirnya ramadhan. Suasana yang sangat meriah.
Tapi, tidak demikian halnya bagi Surya. Ia termenung
seorang diri di teras rumah kontrakan yang sangat sederhana. Kesendirian yang begitu
mencekam Surya. Setelah Eneng pergi, ada yang mengaduk-aduk hatinya, membuat
gundah Surya. Masih tergiang perkataan Eneng sebelum pergi.
"Kang, aku harus gimana? Bertahan dengan kondisi seperti
ini, nggak merubah apapun. Sehabis lebaran nanti, Eneng akan bekerja di
Hongkong. Neng akan merubah kondisi ini, semampu yang dapat Neng lakukan. Akang
setuju nggak setuju, Neng akan tetap berangkat ke Hongkong, Kang."
Terkejut Surya dengan keputusan berani yang diambil isterinya,
tak disangkanya, tekad Neng sudah demikian bulat. Bahkan, untuk sebuah izin
saja, Eneng sudah tak butuh lagi.
Bayangan hari-hari kelam menghantui Surya. Apa kelak
yang akan terjadi pada Enang, Bisa saja isteri yang dicintainya itu, akan
tergoda pria Bangladesh seperti yang banyak dia dengar. Atau pelecehan yang
dilakukan para agen TKW. Atau, bisa juga pelecehan akan dilakukan majikannya di
Hongkong nanti. Semua kemungkinan bisa saja terjadi.
Memang, kenyataan yang dihadapi Surya, sulit baginya
untuk menerima kenyataan ini. Bagiamana tidak, kerja tahunan yang dijalaninya,
tak memberikan apa-apa. Baik harapan apalagi materi.
Kontrak kerja yang diterimanya, sungguh aneh. Setiap tahun
diperbaharui, konyolnya tidak selalu dua belas bulan. Pernah kontrak yang
ditanda-tanganinya hanya sebulan. Padahal obyek kerjanya memiliki waktu dua
belas bulan setiap tahunnya. Tentu ada yang salah dalam hal ini.
Surya berharap memiliki pekerjaan tetap, bukan kerja
yang setiap tahun diperbaharui dengan jumlah hitungan bulan kurang dari
setahun.
Tak ada THR, tak ada tunjangan kesehatan. Jika pun ada
asuransi, maka asuransi itu, harus dibayarkan Surya sendiri.
Belakangan, beban hidup semakin berat manakala
harga-harga sembako semakin meroket tinggi, BBM semakin tak terjangkau, dengan alasan dicabut subsidi, lalu, biaya PLN mengikuti di
belakangnya dengan lompatan harga hingga dua ratus persen. Padahal gaji yang
diterima Surya hanya setara dengan UMR.
Kemana peran Negara? Kemana kebijakan yang pro rakyat,
kebijakan yang pro pada mereka seperti Surya?
Untuk jadi pemimpin, semua orang pasti bisa, jika hanya
dengan menaikkan pajak, menaikkan harga, mencabut subsidi, dengan alasan semua
untuk biaya membangun negri. Tanpa memikirkan, kebijakan yang diambil mencekik
rakyat.
Kemana gerangan, sumber daya alam yang melimpah? Apakah itu
hasil tambang alam, sumber destinasi alam
yang dikagumi keindahannya. Sumber budaya adiluhung yang membuat kagum manca Negara?
Bukankah itu memiliki asset besar yang cukup punya andil dalam pembiayaan
membangun Negara.
Bukankah tujuan bernegara, bersatunya suku-suku,
agama-agama agar masyarakat makmur untuk semua, tanpa pengecualian.
Surya bingung, mengapa dia dikecualikan? Tanpa THR, kontrak
kerjanya hanya dalam hitungan bulan. Bahkan pernah hanya sebulan dalam setahun.
Tanpa surat keterangan pengalaman kerja. Belum lagi gaji yang diterima sebesar
UMR.
Bukankah Surya sarjana, bukankah Surya tenaga yang
diharapkan sebagai volunteer, agen perubahan menuju Indonesia baru, dengan
slogan mengepung atau membangun Indonesia dari desa.
Apa yang salah terhadap Surya dan teman-teman yang
seprofessi dengannya? Jika system kerja Outsorsing menguntungkan pengusaha,
surya masih mengerti, tersebab penguasa memang profeet oriented. Tetapi, Surya
bukan bekerja pada pengusaha. Surya bekerja pada negri yang katanya ingin
membangun Indonesia dari pinggiran.
*****
“Jadi, gimana Neng? Eneng tetap akan pergi?” tanya surya
pada Eneng.
“Eneng terpaksa Kang?”
“Eneng nggak kasihan sama Akang?”
“Justeru, kalo Eneng nggak pergi, Eneng gak kasihan sama
akang” jawab Eneng.
“Kok, bisa gitu?”
“Anak kita akan sekolah apa kang? Mau sekolah hanya
sampai S1, lalu nasibnya seperti akang? Menafkahi isteri saja nggak mampu”
jelas Eneng.
Terhempas Surya dengan kalimat terkahir Eneng. Sungguh kelelakiannya
tersentak. Begitukah penilaian isterinya padanya? Jerih payah, kerja keras dan
waktu yang dia habiskan, hanya disimpulkan tak mampu menafkahi isteri.
Terhempas Surya dengan kenyataan pada tempat kerjanya. Sungguh
kelelakiannya tersentak. Begitukah penilaian institusi tempatnya bekerja? Jerih
payah dan waktu yang dia habiskan, hanya dibalas dengan imbalan yang tak mampu
untuk menafkahi isteri dan keluarganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar